Kamis, 12 Juli 2012

Sejarah Gunung Pulosari


Gunung Pulosari - Pusat Peradaban Masa Lalu Banten


GUNUNG Pulosari telah lama dikenal. Dalam sejarah Banten dikatakan Sunan Gunung
Jati dan Hasanuddin melakukan perjalanan dengan tujuan ke Gunung Pulosari yang
menurut Sunan Gunung Jati merupakan wilayah Brahmana Kandali. Di atas gunung itu
hidup delapan ratus ajar-ajar yang dipimpin Pucuk Umun. Hasanuddin diberitakan
konon tinggal bersama mereka selama sepuluh tahun lebih.Keberadaan Gunung
Pulosari yang dipercaya sebagai salah satu gunung keramat diperkirakan telah
muncul jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banten Girang yaitu kerajaan yang
bercorak Hindu/Buddha sebelum berdirinya Kesultanan Banten Islam. Berita-berita
dari beberapa pakar kepurbakalaan seperti Pleyte mengisahkan Sanghyangdengdek
berdasarkan sumber cerita Ahmad Djayadiningrat pada tahun 1913 dan NJ Krom dalam
Rapporten van der Oudheikundingen Diens in Nederlandsch Indie tahun 1914
menyatakan pula bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang ada peninggalan arkeologi
berupa arca nenek moyang. Salah satu arca yang dimaksud adalah patung tipe
polinesia di Tenjo (Sanghyangdengdek).

Gambaran Gunung Pulosari sebagai gunung keramat diperoleh pula dari keterangan
Claude Guillot bahwa di Desa Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi, Kabupaten
Pandeglang terdapat pemujaan lama yang menyandang nama dewa. Tempat pemujaan
tersebut sudah lama dikenal berupa batu berdiri yang tingginya kira-kira satu
meter dan puncaknya dipahat sederhana dan kasar berbentuk kepala, mata bulat,
mulutnya hanya berupa goresan, telinganya dibuat hanya tipis sederhana dan
hidung tidak nyata, lengan-lengan dan kelamin lelaki kelihatan pula, tetapi
hampir tidak menonjol.

Tidak hanya itu. Keberadaan Gunung Pulosari yang dikenal sebagai gunung keramat
dapat dikatakan sebagai salah satu pusat peradaban masa lalu di daerah Banten.
Pernyataan ini tentunya didukung bukti-bukti peninggalannya. Kira-kira empat
kilometer dari Sanghyangdengdek di atas bukit Kaduguling tepatnya di perbatasan
Desa Sukasari dan Desa Bongkaslandeuh, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang
terdapat kompleks megalitik berlanjut yang disebut Batu Goong-Citaman.
Hasil penggambaran Direktorat Purbakala tahun 1999, tampak situs Batu Goong
adalah punden berundak yang merekayasa bentukan alam. Bukit Kaduguling sebagai
bukit tertinggi di seputar situs, posisinya tepat berada pada garis lurus ke
Sanghyangdengdek berorientasi ke puncak Gunung Pulosari dibentuk
pelataran-pelataran bertrap-trap makin ke timur makin tinggi menjadikan bentuk
memusat ke belakang. Di tempat tertinggi itulah ditempatkan Batu Goong bersama
menhir. Menhir ini berdiri di tengah-tengah sebagai pusat dikelilingi oleh
batu-batu yang berbentuk gamelan seperti gong dan batu pelinggih. Formasi
semacam ini lazim disebut formasi "temu gelang". Di tempat lain dapat
diperbandingkan dengan peninggalan megalitik di Matesih, Jawa Tengah, dan di
situs Pugungraharjo di Lampung Timur.
***



SITUS Batu Goong dilengkapi kolam megalitik berukuran cukup besar, yang dikenal
dengan situs Cataman. Cataman berada di sebelah barat Batu Goong jaraknya
kira-kira 450 m, dan posisinya berada lebih rendah. Berdasarkan hasil pendataan
Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala Serang, menunjukkan dahulu situs Batu
Goong dan Citaman merupakan satu kesatuan, satu kompleks budaya dan satu
periode. Di Citaman terdapat batu-batu berlubang, batu datar, batu dakon dan
batu bergore. Disamping itu di situs Batu Goong-Citaman ditemukan pecahan
keramik, diantaranya keramik Sung putih berasal dari akhir abad ke-10 M yang
paling tua, dan keramik Yuan dari abad ke-14 M yang lebih muda.



***



SATU hal menarik dan menjadi perhatian adalah bila ditarik garis lurus
barat-timur, antara Batu Goong dengan Sanghyangdengdek akan berakhir di puncak
Gunung Pulosari sebagai kiblat persembahan tempat roh nenek moyang sekaligus
menganggap Gunung Pulosari itu sendiri sebagai gunung keramat. Anggapan ini
tidak berlebihan mengingat Babad Banten yang merupakan produk masa Islam masih
menyebutkan Gunung Pulosari adalah gunung keramat. Berdasarkan penuturan Babad
Banten kendatipun Gunung Karang dan Gunung Haseupan juga banyak disebut-sebut
tempat kegiatan asal mula pendukung/masyarakat Banten, namun Gunung Pulosari
dinyatakan lebih penting ditinjau dari segi kekeramatannya. Hal ini mungkin
karena Gunung Pulosari sejak zaman prasejarah ditunjuk sebagai gunung suci
tempat para arwah leluhur.

Pada tahun 1993 Ny Sawinah, penduduk Desa Sukasari, pernah menemukan potongan
kaki arca dari masa klasik di sebelah barat situs Batu Goong. Hal ini berarti
situs Batu Goong-Citaman merupakan situs megalitik berkelanjutan.
Peninggalan-peninggalan di seputar Gunung Pulosari jauh lebih lengkap, lebih
banyak dan artefaknya dapat ditelusuri hingga ke masa klasik. Bahkan banyak
sarjana kenamaan telah memiliki bukti awal yang menunjukkan di Gunung Pulosari
pada abad ke-7 atau ke-9 telah berdiri bangunan candi, khususnya dari agama
Hindu. Data atau buktinya kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta berupa
koleksi beberapa buah patung arca Hindu seperti arca Brahma, arca Siwa, arca
Agastya, arca Ganesha, arca Durga, dan lapik arca dari Gunung Pulosari.

Masih di seputar Gunung Pulosari, tepatnya di lereng selatannya, di Kampung
Baturanjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk ditemukan sebuah dolmen. Dolmen di
Baturanjang tergolong telah maju karena meja batunya telah dikerjakan secara
halus. Dibandingkan dengan dolmen-dolmen yang ditemukan di Sumatera bagian
selatan, dolmen Baturanjang amat menarik karena terbuat dari batu andesit yang
tergolong maju. Dolmen dibuat secara halus dan permukaannya rata, disangga empat
batu dan dikerjakan sangat rapi dengan pahatan pelipit melingkar. Di bawahnya
terdapat pondasi dari batu kali untuk menahan agar batu penyangga tidak terbenam
ke dalam. Di sebelah timur dolmen terdapat batu lumpang atau batu berlubang.

Bentuk dolmen Baturanjang ini mengingatkan pada batu dolmen dari Sumba yang
digunakan sebagai tempat penguburan raja-raja. Namun, secara pasti fungsi dolmen
Baturanjang belum diketahui apakah sebagai kuburan atau media pemujaan arwah
leluhur, mengingat belum pernah dilakukan penelitian dalam bentuk ekskavasi
arkeologis.

***
MASIH di seputar Gunung Pulosari, di Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan
Cimanuk, ditemukan batu monolit megalitik yang ternyata batu bergores. Bentuk
goresannya sangat berlainan dari batu-batu bergores di tempat lain. Batu
bergores Cidaresi berbentuk segi tiga dengan lubang di tengah-tengah sehingga
menyerupai kemaluan wanita. Karena itu, penduduk setempat menamakannya "batu
tumbung" yang berarti kemaluan wanita. Diduga batu Cidaresi ini menggambarkan
simbol kesuburan, atau sebagai lambang kesucian wanita.

Demikian beberapa gambaran temuan kepurbakalaan di seputar Gunung Pulosari yang
diduga sebagai salah satu pusat peradaban Banten pada masa lalu. Di era otonomi
daerah dewasa ini peninggalan tersebut patut menjadi perhatian pemerintah daerah
untuk tetap melindunginya dan menjaga kelestariannya bahkan kemudian dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata budaya.


0 komentar:

Posting Komentar

About me

Maaf Ya, Di Blog Ini Tidak Di Ijinkan Untuk Klik Kanan

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
 
Minima 4 coloum Blogger Template by Serdadu Banten.
Simplicity Edited by Serdadu Banten's Template