Banten memang dikenal kaya potensi wisata spiritual. Kalau daerah Banten
Lama di Kabupaten Serang, misalnya, dikunjungi ribuan wisatawan setiap
liburan karena memiliki kawasan wisata peninggalan Sultan Banten - yang
antara lain berisi Benteng Surosowan, Mesjid Agung, Klenteng Kuno dan
sejumlah makam keluarga Sultan Hasanudin, maka Kabupaten Pandeglang, 20
km dari Kota Kabupaten Serang, juga dikenal karena memiliki kawasan
wisata Gunung Karang.
Dalam buku potensi usaha pariwisata Kabupaten Pandeglang yang
diterbitkan beberapa tahun silam, disebutkan kawasan wisata Gunung
Karang memiliki 3 obyek kunjungan. Obyek kunjungan pertama disebut Sumur Tujuh. Obyek kunjungan kedua,
pemandian alam Cikoromoi yang dilengkapi tempat penziarahan Cibulakan.
Obyek penziarahan itu menjadi menarik diamati pengunjung, karena dikolam
pemandiannya terdapat Batu Qur'an, batu berukuran besar terletak di
dasar kolam dan bertuliskan huruf-huruf arab. Diperkirakan batu
bertuliskan huruf arab itu sudah berusia lebih 5 abad. Dan obyek
kunjungan yang ketiga disebut pemandian air panas Cisolong. Dibandingkan dengan obyek kunjungan kolam renang Cikoromoi, atau
pemandian air panas Cisolong, obyek kunjungan Batu Quran dan Sumur Tujuh
lebih sering dikunjungi umat Islam pada hari-hari besar Islam, seperti
Maulid Nabi Muhammad, 1 Muharam, menjelang Ramadan, Idul Fitri atau Idul
Adha. Ribuan umat Islam selalu mengunjungi kedua obyek wisata spritual
itu di setiap liburan, karena sejarah keberadaan obyek wisata Sumur
Tujuh dan Batu Qur'an, konon kabarnya, erat kaitannya dengan kegiatan
keluarga Sultan Banten dalam penyebaran Islam di abad ke 15. Karena itu, sejumlah perusahaan biro perjalanan wisata di Jawa,
khususnya lembaga pengajian atau majelis taklim di Jabotabek, Banten,
Bandung dan Cirebon sering menjadikan obyek wisata Batu Qur'an dan Sumur
Tujuh sebagai bagian dari paket wisata spiritual Banten. Cerita panjang mengenai misteri Sumur Tujuh itu akan dikupas dalam
tulisan terpisah. Lalu, apa daya tarik obyek wisata pemandian Batu
Qur'an? Untuk mengetahuinya, mungkin Anda bisa mempelajari pengakuan
Haji Wahab Gaffar (57) dari Mataram, Nusa Tenggara Barat. Haji Wahab Gaffar, pensiunan pegawai Pemda Tk I Nusa Tenggara Barat itu
mengaku sudah sejak kuliah di Universitas Gajah Mada tahun 1960
mendengar beragam daya tarik pemandian Cibulakan. Karena itu, kakek 6
cucu dari 4 anak ini bernazar begitu pensiun akan meluangkan waktu
melaksanakan wisata spiritual dengan mengunjungi makam Sunan Ampel di
Surabaya hingga menengok semua peninggalan zaman kejayaan Sultan Banten,
termasuk pemandian Batu Qur'an itu. "Ketika melihat sendiri, saya baru percaya, batu qur'an itu ada. Jadi,
bukan dongeng yang dibuat-buat. Batu Qur'an itu merupakan salah satu
sisa peninggalan masa jaya Sultan Banten," ujar Haji Wahab Gaffar.
"Sayangnya, Pemda terkesan membiarkan obyek wisata itu tumbuh tanpa
perawatan seperlunyam sehingga tidak terkesan obyek wisata itu sangat
berarti bagi umat Islam, khususnya bagi aset sejarah di Banten,"
tambahnya. Lokasi pemandian Batu Qur'an terletak di kaki Gunung Karang, tepatnya
di Desa Kadubumbang Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Lokasi
pemandian memang sangat sederhana. Hanya ada sebuah kolam di situ.
Tetapi, jika liburan panjang tiba, antrian orang berdatangan ke
pemandian tersebut. Pengunjung selalu dibuat takjub, karena menurut cerita kuncen, petugas
penjaga pemandian Cibulakan, air kolam pemandian - yang tingginya hanya
sekitar 1,5 meter dari dasar kolam - tak bisa kering sekalipun musim
kemarau berlangsung panjang. Prof Dr Muarif Ambari dari Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional juga pernah mempelajari bagaimana mengeringkan kolam
Cibulakan, kemudian Batu Qur'an yang ada diteliti asal muasalnya.
Ternyata sulit. Pasalnya, air Cibulakan tak mudah kering kendati disedot
pipa air bertekanan ratusan kubik perjam. Akibat itu para ahli sejarah
kepurbakalaan yakin bahwa batu bertulisan huruf-huruf al-quran yang ada
di batu-batu di dasar kolam Cibulakan, sengaja dibuat oleh pengikut
Sultan Banten dalam rangka syiar Islam. Batu-batu itu telah dijadikan
media pengikut Sultan untuk warga Banten tentantg bagaimana menghormati
air untuk diminum, bagaimana menghormatyi air untuk dijadikan wudhu, dan
bagaimana menjadikan air sebagai modal kehidupan. Batu-batu berhuruf arab itu, lebarnya hanya sekitar 2 meter. Di
pinggiran batu tersebut, terdapat sejumlah mata air yang deras dan
bening airnya. Di lokasi itulah pula, pengunjung sering berlama-lama
berendam. "Ada yang sangat yakin, jika berendam di sekitar batu quran tersebut,
penyakit kulit yang ada ditubuh akan mudah disembuhkan. Ada juga yang
yakin, sering berendam di kolam Cibulakan kulit akan menjadi lebih
bersih karena air kolam Cibulakan mengandung unsur obat kimia yang bisa
menghaluskan kulit. Ada juga yang yakin, air kolam Cibulakan bisa
dijadikan media penyembuhan beragam bentuk penyakit dalam," ujar Haji
Achmad dari Warung Gunung Kabupaten Lebak yang mengaku sering mengajak
santri-santri pesantrennya mengaji bersama di mushollah yang ada di
pinggiran kolam Cibulakan. Haji Achmad menuturkan, sering mengajak santrinya mengaji bersama di
Mushollah Cibulakan, lebih karena ingin menjelaskan banyak hal bahwa
Batu Quran yang ada di kolam Cibulakan merupakan peninggalan Ki Mansyur,
seorang ulama terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15. Ki Mansyur - yang juga disebut Maulana Mansyur oleh warga masyarakat
Banten - memang salah seorang ulama pemberani, cerdas, piawai dalam
memainkan alat-alat kesenian bernafaskan Islam. Di masa kejayaan Sultan
Hasanudin, Ki Mansyur yang juga cakap dalam ilmu pertanian serta
komunikasi diserahi tugas untuk menjaga kawasan Islam Banten Selatan dan
berdomisili di Cikaduen. Selama masa penugasannya, Ki Mansyur mewariskan banyak ilmunya kepada
warga Banten Selatan. Salah satu ilmu kesenian bernafaskan Islam yang
ditinggalkannya dan hingga kini masih lestari adalah seni Rampak Bedug,
kesenian tradisional yang mulanya digunakan warga Pandeglang hanya di
bulan Ramadhan untuk membangunkan warga makan sahur. Kesenian itu juga
digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan massa menjelang Ki Mansyur
menyampaikan pesan-pesan atau tugas kepada warga. Ki Mansyur juga
mewariskan ilmu debus, kesenian yang inti sarinya bersumber dari
Al-quran, untuk penyebaran Islam. Kini Ki Mansyur - bersama istrinya - bersemayan di Cikaduen. Setiap
libur, terutama sekali jika Maulid Nabi Muhammad tiba, puluhan bus
ukuran besar dari berbagai kota parkir di lokasi wisata penziarahan
makam Ki Mansyur di Cikaduen, Pandeglang. Setelah mengunjungi makam Ki Mansyur, para wisatawan juga kerap
menyempatkan diri berendam di kolam Cibulakan. Ketika pulang, pengunjung
pun membawa oleh-oleh botol berisi air dari kolam Cibulakan. Dan
kegiatan itu sepertinya sudah mejadi tradisi yang berlangsung lama.
Hasilnya pun menakjubkan. Karena sangat yakin, air kolam pemandian batu
quran bisa dijadikan obat, banyak pengunjung yang semula menderita
penyakit kulit kini sembuh.
Kamis, 12 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About me
Maaf Ya, Di Blog Ini Tidak Di Ijinkan Untuk Klik Kanan
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar