Minggu, 08 Juli 2012

Pesantren Di Lorong Bukit


Pondok pesantren itu berada di kaki bukit. Dari sisi utara bukit itu terlihat pantai utara Jawa. Sesekali terlihat perahu layar kerajaan Demak dengan bentuknya yang khas. Pohon munggur, johar, dan randu tampak menjulang tinggi memagari beberapa rumah berderet menghadap ke sebuah jalan setapak yang menjadi tempat tinggal para santri. Jalan itu akan berakhir ke sebuah masjid dengan halaman yang luas. Kiai Rahmat biasa mengajar santri-santrinya bermain silat di halaman itu. Umurnya masih muda. Belum sampai tiga puluh tahun. Mungkin dua tujuh atau dua delapan tahun. Belum pantas dipanggil kiai. Namun masyarakat sekitar pesantren biasa memanggil begitu. Hampir setiap sore bahkan kalau malam terang bulan mereka berlatih pula. Mengaji dilakukan selepas Subuh sampai Zuhur.
Setiap awal bulan Muharram sampai bulan purnama pondok itu terlihat lengang. Mereka mengembara melatih fisik menghadapi segala tantangan alam sekaligus mencari pengalaman menerapkan ilmu bela dirinya. Medan yang sulit merupakan tujuan mereka. Kalau di dalam perjalanan mereka mendengar kabar tentang suatu daerah yang rusuh maka mereka akan datang. Dan mereka belum beranjak sebelum pelaku keonaran tertangkap, sehingga rencana perjalanan dua minggu itu kadang-kadang molor. Cuma tidak pernah lebih dari sebulan.
Maka tenarlah pesantren Kiai Rahmat sebagai tempat orang mencari perlindungan dan melaporkan tindak kejahatan. Dalam ilmu bela diri Kiai Rahmat memang jagonya. Lincah bermain segala macam senjata. Orang-orang tua bilang kakeknya seorang pendekar pilih tanding. Di bawah asuhan kakeknya, sejak kecil Kiai Rahmat ditempa untuk menjadi pendekar pula, sehingga pada usia masih sangat muda belum genap 15 tahun dia telah menyamai kakeknya dalam olah kanuragan. Di samping itu kakeknya juga seorang kiai. Mengembara mencari ilmu agama pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya telah menjadi jalan kehidupannya di masa muda. Tak mengherankan kalau Rahmat memiliki pemahaman tentang agama Islam yang cukup memadai, walaupun tentu lebih mendalam saudara tuanya yang datang tiga hari dalam sepekan untuk mengajar tafsir dan fikih di pesantren itu. Karena saudara tuanya ini pengembara ilmu Islam di Timur Tengah.
Kiai Rahmat pernah mengembara pula. Ada yang bilang lima tahun ada yang bilang sampai delapan tahun berguru bela diri ke Tiongkok. Beberapa aliran kungfu telah dikuasainya. Makanya kalau dia belanja ke pedagang Tionghoa, bahasa Tionghoanya keluar.
Istri Kiai Rahmat orang Tionghoa juga. Tetapi sekarang sudah mahir bahasa Melayu dan Jawa. Setiap pagi selepas Subuh bacaan Qurannya mengalun merdu menerobos keluar dari bilik bambu. Kerudung yang lebar dan panjang selalu menyertainya di waktu berpergian. Karisma dan kehebatan suaminya menjadikan dia sangat dihormati dan banyak perempuan desa yang meniru-niru penampilannya, walaupun banyak di antara mereka masih mengikuti agama resmi negara Majapahit yakni Hindu atau Budha.
- - -
Tidak seperti biasanya, sore itu Kiai tidak melatih bela diri. Beberapa orang santri tampak mengelilingi Kiai mendengarkan cerita pengembaraannya di Tiongkok termasuk pula sampai dia memboyong seorang gadis dari sana. Istri Kiai Rahmat itu orang asli Xinjiang. Dia tinggal tidak jauh dari makam shahabat besar Rasulullah Saad bin Abi Waqqash. Papanya seorang guru kungfu Shaolin kenamaan.
Kiai Rahmat sangat mengagumi akhlak putri gurunya itu. Ketekunannya beribadah dan kecermatannya menutup aurat, membuatnya mabuk kepayang. Sudah banyak para pendekar dan pembesar melamarnya. Namun selalu ditolaknya. Kebetulan orang yang melamar putrinya itu tidak memenuhi keinginan Guru dalam masalah agamanya. Akhirnya suatu saat aku memberanikan diri untuk melamarnya.
“Guru, sebelumnya saya mohon maaf. Terdorong oleh keinginan hati yang selalu menggelisakan tidur. Saya memberanikan diri melamar putri Guru.”
Sang Guru terdiam lama. “Sudahkah engkau mantap dalam pilihanmu?”
“Sudah, Guru.”
“Aku akan memberi jawaban ya atau tidak kalau engkau sudah bisa menyamai ilmuku atau bisa mengalahkanku.”
Sejak mendapat tantangan itu Rahmat menjadi semakin giat berlatih siang dan malam seperti tak kenal lelah. Sampai suatu saat Sang Guru mengajaknya bertanding. Dia masih ingat betul, waktu malam bulan purnama bulan Muharram. Pertarungan yang amat menentukan karena sekaligus menjadi forum pengesahan akan kelulusan dia di perguruan itu. Seluruh murid perguruan berkumpul, sejak selepas salat \lquote Isya sampai tengah malam Rahmat bertanding. Semua jurus yang pernah diajarkan gurunya dikeluarkan berikut olah napas dan keterampilan menggunakan segala senjata. Baru setelah bulan mulai condong ke arah barat sang guru memberi isyarat sudah cukup. “Kalian jangan pergi dulu, aku melakukan sesuatu yang sangat penting.”
Para murid perguruan itu bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan dilakukan gurunya termasuk Rahmat. Guru mengajak Rahmat masuk rumah. Lalu Guru memanggil putri satu-satunya yang cantik jelita itu. “Putriku yang amat kusayang. Pada malam hari ini Papa ingin memberi jawaban dan kepastian akan lamaran Rahmat murid papa orang Jawa ini, sebagaimana telah Papa sampaikan sepekan yang lalu. Waktu tujuh hari Papa kira sudah cukup untuk memikirkan persoalan ini sekaligus pula memohon petunjuk Allah. Semua ilmu yang kasat mata telah kuberikan kepadanya. Tinggal beberapa rahasia ilmu yang akan kuberikan kunci-kuncinya besok pagi. Rahmat telah lulus dari perguruan ini. Semua sangat tergantung padamu. Papa tidak ingin engkau tidak berbahagia karena Papa memaksakan pilihan. Kalau engkau tidak suka katakan terus terang. Kalau engkau diam saja, maka Papa akan berpegang kepada sabda Rasulullah saw bahwa diamnya seorang gadis atas sebuah pinangan itu pertanda persetujuan.”
Putri Sang Guru itu terdiam sejenak. Airmata yang bening mengalir. Semakin lama semakin deras. Mereka bertiga terdiam membisu. “Aku tidak ingin berpisah dengan Papa.”
Sang Guru pun meneteskan air mata, “Papa pun demikian. Namun perjalanan hidup manusia kadang-kadang mengharuskan seperti itu. Engkau harus selalu ingat bahwa tanah Jawa itu juga bumi Allah. Papa berani mempercayakan dirimu kepada Rahmat karena dia seorang mujahid dan dai yang gigih. Papa yakin engkau akan selalu dibimbingnya untuk selalu istiqomah di jalan-Nya yang lurus. Jika engkau mau menerima pinangannya, maka malam bulan purnama ini juga akan Papa nikahkan.”
“Papa...” putri sang Guru menelungkupkan wajahnya di pangkuan papanya. “Doa Papa selalu ananda minta.”
“Tentu saja Papa tidak akan melupakan. Marilah kita semua keluar.”
“Lalu pada malam hari itu juga aku resmi menjadi menantu Sang Guru. Keesokan harinya di dalam rumah Sang Guru dengan disaksikan istriku aku menerima segala rahasia ilmu yang selama ini masih disembunyikan. Tuan Guru bilang dengan beberan ilmunya yang terakhir itu aku akan berhasil mengalahkan Guru. Namun aku bersikeras tak mencobanya, demi menjaga wibawanya di hadapan murid-muridnya,” kata Kiai Rahmat mengakhiri ceritanya.
***
Malam terang bulan Kiai Rahmat tidak keluar untuk melatih. Namun beberapa santri tetap berlatih di halaman masjid. Gerakan-gerakan kungfu mengalir dengan lancar. Samar-samar dari bilik Kiai terdengar suara isak tangis.
“Dinda, mengapa sejak tadi engkau selalu menangis? Apakah engkau sakit? Ataukah engkau menginginkan sesuatu? Katakanlah! Asal Kanda sanggup akan Kanda turuti malam ini juga.”
“Dinda sangat rindu kepada Papa.”
“Dinda, Kanda perlu waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya, untuk berlayar ke Tiongkok. Apalagi Dinda sekarang sedang hamil. Apakah Dinda tidak kasihan kepada anak kita, membawanya menyeberangi lautan luas? Bersabarlah sampai dia lahir dan berumur setidak-tidaknya dua tahun.” Kata-kata itu tidak membuat tangisnya reda. Bahkan airmatanya semakin deras mengalir. “Maafkan Dinda.”
Tiba-tiba terdengar suara keributan di halaman masjid. Seketika Kiai Rahmat berlari keluar. “Hai, ada apa?”
“Dua orang penyerang gelap, Kiai,” seorang santri menjawab. “Kami sedang berlatih tiba-tiba dua bayangan hitam berkelebat, gerakannya cepat sekali. Sejurus kemudian empat orang santri terkapar menahan sakit.” Dari bilik-bilik rumah santri-santri yang lain berlarian menuju ke tanah lapang mengeroyok dua penyerang gelap yang tidak bisa dikenali karena memakai topeng.
Kiai Rahmat memperhatikan sebuah pertarungan yang sangat sengit. Dua penyerang gelap itu sama sekali tak tersentuh. Gerakan-gerakannya sangat cepat dan lincah. Namun dia sangat kenal dengan gerakan-gerakan itu. Terlihat mereka berdua tidak menyerang untuk mematikan.
“Bukan tandingan mereka,” gumam Kiai. Kemudian dia berteriak lantang, “Minggir! Minggir semua!”
Tinggallah di tengah halaman masjid Kiai dengan dua penyerang gelap itu. Dengan gerakan-gerakan cepat mereka berdua menyerang Kiai Rahmat. Kiai lebih banyak bertahan. Beberapa lama mereka menyerang tak juga berhasil menyentuh Kiai. Tiba-tiba Kiai berteriak, “Bersiaplah!” Lalu pertarungan berubah cepat tidak lebih dari sepuluh gerakan dua penyerang gelap itu tak berdaya. Kiai memberi isyarat kepada para santri untuk mengikat keduanya.
“Siapa kalian? Apa mau kalian?” dengan kedua tangannya Kiai membuka topeng keduanya. “Guru.”
“Lepaskan dia!” perintah Kiai kepada santrinya. “Dinda! Ini Papa datang!”
Dari dalam terdengar langkah tergopoh-gopoh. “Oh, Papa!” Istri Kiai Rahmat menghambur dalam pelukan papanya. “Kenapa Papa datang dengan cara seperti ini?”
Orang yang dipanggil guru dan papa itu tersenyum. “Aku ingin tahu hasil kerja menantuku. Ternyata tidak salah pilihanmu anakku. Oh ya, Rahmat. Perkenalkan ini muridku yang terbaik. Dia akan menggantikan kedudukanku. Aku sudah memutuskan untuk pindah ke Jawa. Aku tak tahan berpisah jauh dengan putriku, anakku satu-satunya

0 komentar:

Posting Komentar

About me

Maaf Ya, Di Blog Ini Tidak Di Ijinkan Untuk Klik Kanan

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
 
Minima 4 coloum Blogger Template by Serdadu Banten.
Simplicity Edited by Serdadu Banten's Template