Jumat, 20 Juli 2012

Gunung Krakatau




Tsunamigenik di Selat Sunda:
Kajian terhadap katalog Tsunami Soloviev
Yudhicara1 dan K. Budiono2
1Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung
2Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
Jl. Dr. Junjunan No. 236 Bandung
Sari
Tsunamigenik adalah suatu kejadian di alam yang berpotensi menimbulkan tsunami. Kejadian tersebut berupa terganggunya air laut oleh kegiatan-kegiatan gunung api, gempa bumi, longsoran pantai dan bawah laut, dan sebab-sebab lainnya.
Berdasarkan sejarah, di Selat Sunda telah berkali-kali terjadi bencana tsunami yang tercatat dalam katalog tsunami. Tsunami yang terjadi ini disebabkan oleh beberapa fenomena geologi, di antaranya erupsi gunung api bawah laut Krakatau yang terjadi tahun 416, 1883, dan 1928; gempa bumi pada tahun 1722, 1852, dan 1958; dan penyebab lainnya yang diduga kegagalan lahan berupa longsoran baik di kawasan pantai maupun di dasar laut pada tahun 1851, 1883, dan 1889.
Kondisi tektonik Selat Sunda sangat rumit, karena berada pada wilayah batas Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia, tempat terbentuknya sistem busur kepulauan yang unik dengan asosiasi palung samudera, zona akresi, busur gunung api dan cekungan busur belakang. Palung Sunda yang menjadi ba­tas pertemuan lempeng merupakan wilayah yang paling berpeluang menghasilkan gempa-gempa besar. Adanya kesenjangan kegiatan gempa besar di sekitar Selat Sunda dapat menyebabkan terakumulasinya tegasan yang menyimpan energi, dan kemudian dilepaskan setiap saat berupa gempa besar yang dapat menimbulkan tsunami.
Sepanjang sejarah letusan, busur gunung api bawah laut Krakatau telah mengalami empat tahap pem­bangunan dan tiga tahap penghancuran. Setiap tahap penghancuran mengakibatkan terjadinya tsunami dengan kemungkinan potensi peristiwa serupa akan terjadi antara tahun 2500 hingga 2700.
Kondisi geologi dasar laut Selat Sunda yang labil, terutama disebabkan oleh perkembangan struktur geologi aktif yang membentuk terban, juga berpotensi menimbulkan bencana longsor apabila dipicu oleh gempa bumi. Sementara kondisi topografi pantai yang relatif terjal dengan tingkat pelapukan yang tinggi di sekitar Teluk Semangko dan Teluk Lampung, merupakan faktor lain yang dapat menimbulkan bencana longsor terutama apabila dipicu oleh curah hujan yang tinggi antara bulan Desember hingga Februari. Lebih jauh lagi, bahwa apabila material longsoran jatuh ke laut, meskipun sangat kecil dan bersifat lokal dapat juga berpotensi mengakibatkan tsunami.
Kata Kunci: tsunamigenik, gempa bumi, gunung api bawah laut, longsoran, tsunami
Abstract
Tsunamigenic is a natural phenomena which is potential to generate a tsunami, such as water dis­turbance due to the presence of activities of volcanism, earthquakes, coastal and sub marine landslidse, or other causal factors .
Historically, the Sunda Strait has experienced several tsunami events recorded in the tsunami catalog. Those tsunamies were caused by some geological phenomena such as eruptions of Krakatau submarine volcano in 416, 1883, and 1928; earthquakes in 1722, 1852, and 1958; and other causes which were suggested as a mass failure of coastal and submarine landslide in 1851, 1883, and 1889.
Tectonic condition of the Sunda Strait is very complicated, because this region is located at the boundary of Indian-Australian and Eurasian Plates, where a unique island arc system occurs with its association such as trench, accretionary zone, volcanic arc and back-arc basin. Sunda trench as a plate boundary is the most potential region to produce big earthquakes. Existence of a seismic gap in the region
241
242
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 4 Desember 2008: 241-251
can cause a stress accumulation and store energy, then it will be released any time as a big earthquake to generate a tsunami.
Along eruption history, Krakatau volcanic arc has four stages of reconstruction and three stages of destruction, and every destruction stage produces tsunami which is suggested to be potentially repeated in the future in a period between 2500 to 2700.
Seafloor of the Sunda Strait has an unstable geological condition due to geological structure development, which creates grabens and also enable to produce submarine landslides triggered by earthquake. Coastal condition around the Semangko and Lampung Bays consisting of steep topography with high intensity of weathering, is another factor to contribute landslide, particularly in the case of triggering be heavy rainfall between December to Februari. Furthermore, if landslide materials tumble into the water, even very small and locally, could create a potency of tsunami.
Keywords: tsunamigenic, earthquake, submarine volcano, landslide, tsunami
Pendahuluan
Tsunami bisa disebabkan oleh berbagai hal di antaranya gempa bumi dan erupsi gunung api di bawah laut, atau oleh sebab-sebab lain berupa longsoran di dasar laut dan atau di pantai.
Pada tahun 1883, di Kawasan Selat Sunda terjadi letusan Gunung Api Krakatau. Peristiwa bersejarah ini telah menarik seluruh perhatian dunia, karena material yang dimuntahkannya telah memicu ter­jadinya tsunami yang melanda sebagian Sumatera bagian selatan dan Jawa Barat bagian barat, sehingga menewaskan lebih kurang 36.000 jiwa manusia.
Berdasarkan katalog tsunami yang ditulis oleh Soloviev dan Go (1974), telah tercatat adanya beberapa kali peristiwa bencana tsunami di Selat Sunda (Tabel 1). Di dalam katalog dijelaskan bahwa tsunami tersebut dipicu salah satunya oleh erupsi gunung api yang pernah terjadi pada tahun 416 [terekam dalam sebuah kitab Jawa yang berjudul Pustaka Raja (“Book of Kings”)], yang diduga se­bagai gunung api Krakatau kuno. Setelah peristiwa erupsi gunung api bawah laut Krakatau di tahun 1883, erupsi-erupsi kecil berlangsung pada tahun 1884, menghasilkan tsunami kecil yang teramati di sekitar Selat Sunda. Peristiwa yang sama kembali terjadi pada tahun 1928, dan tsunami kecil teramati sekitar Gunung Api Anak Krakatau.
Dalam katalog tersebut juga dijelaskan bahwa tsunami pernah teramati setelah adanya peristiwa gempa bumi yang berpusat di dasar laut, di antaranya pada tahun 1722, 1757, 1852, dan 1958. Katalog tersebut juga merekam adanya kenaikan muka air laut yang diduga sebagai tsunami kecil bersifat lokal, teramati di beberapa kawasan pantai dengan penyebab yang belum diketahui, yaitu pada tahun 1851, 1883 (dua bulan setelah peristiwa erupsi Gunung Api Krakatau) dan 1889. Diduga bahwa peristiwa geologi lainnya yang menjadi penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda, selain erupsi gunung api dan gempa bumi bawah laut, adalah pe-ristiwa longsoran di kawasan pantai dan di dasar laut. Untuk membuktikan hal tersebut, telah dilakukan penelitian geologi dan geofisika kelautan di Selat Sunda, termasuk pemetaan longsoran di kawasan Teluk Betung dan sekitarnya maupun studi yang dilakukan mengenai Gunung Api Krakatau, untuk dijadikan bahan kajian tsunamigenik di Selat Sunda dengan mengacu pada sejarah tsunami yang tertulis dalam katalog tsunami (Soloviev dan Go, 1974). Dalam tulisan ini dikaji kondisi geologi dan tektonik kawasan Selat Sunda dan faktor pendukung lainnya yang dapat memberikan kontribusi kejadian tsunami dan potensinya. Hasil kajian diharapkan dapat dijadi­kan dasar penelitian lebih lanjut mengenai tsunami yang mungkin dapat terjadi di wilayah Selat Sunda, sehingga dapat diupayakan langkah mitigasinya sedini mungkin.
Geologi dan Tektonik Regional
Indonesia bagian barat berada pada pertemuan dua lempeng utama dunia yang aktif, yaitu Lem­peng Samudera Hindia-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Benua Eurasia. Konsekuensi pertemuan kedua jenis lempeng yang berbeda ini menyebabkan terbentuknya suatu busur kepulauan yang memiliki karakteristik adanya palung samu-dera, busur non gunung api yang tersusun oleh
Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap katalog Tsunami Soloviev (Yudhicara dan K. Budiono)
243
prisma akresi, busur gunung api, dan cekungan busur belakang (Hamilton, 1979). Beberapa pu-blikasi menyebutkan bahwa Selat Sunda berada pada kombinasi kondisi tektonik tersebut, dengan zona penunjaman yang memanjang dari ujung utara Pulau Sumatera membelok di Selat Sunda, memisahkan antara dua sistem penunjaman yang berbeda, yaitu sistem penunjaman miring (oblique) di perairan ba­rat Sumatera dengan sistem penunjaman tegak (fron­tal) di perairan selatan Jawa (Harjono drr., 1991). Di antara palung dengan busur gunung api terdapat prisma akresi, dan gunung api bawah laut (Krakatau) berada pada jalur busur gunung api di daerah ini. Secara tektonik daerah ini selain dipengaruhi oleh sistem zona penunjaman di barat daya Selat Sunda, juga berkembang Sesar mendatar Semangko dan Sesar mendatar Mentawai dengan arah pergerakan menganan (dextral) yang menerus hingga ke per-airan Selat Sunda (Gambar 1). Masing-masing ele­men tektonik tersebut memberikan kontribusi pada deformasi di daerah Selat Sunda dan membentuk topografi darat dan dasar laut yang bergelombang hingga curam di daerah ini. Kondisi tektonik de­
Tabel 1. Data Kejadian Tsunami berdasarkan Katalog Soloviev dan Go, 1974
Tahun
Uraian Kejadian Tsunami
416
Kitab Jawa yang berjudul “Book of Kings” (Pustaka Radja), mencatat adanya beberapa kali erupsi dari Gunung Kapi*, yang menyebabkan naiknya gelombang laut dan menggenangi daratan, dan memisahkan P. Sumatera dengan P. Jawa. *) Gunung Kapi ini diyakini sebagai Gunung api Krakatau saat ini).
Oktober 1722
8:00 terjadi gempa bumi kuat di laut, yang dirasakan di Jakarta dan menyebabkan air laut naik seperti air mendidih.
24 Agustus 1757
2:00, Gempa bumi yang kuat dirasakan di Jakarta kurang lebih selama 5 menit. Pada 2:05, selama goncangan yang terkuat, angin dirasakan berasal dari timur laut. Air sungai Ciliwung meluap naik hingga 0,5 meter dan membanjiri Kota Jakarta.
4 Mei 1851
Di Teluk Betung, di dalam Teluk Lampung di pantai selatan pulau Sumatera, teramati gelombang pasang naik 1,5 m di atas air pasang biasanya.
9 Januari 1852
Segera setelah 18:00, dirasakan gempabumi yang menyebar dari bagian barat Jawa hingga bagian selatan Sumatera, dirasakan juga di Jakarta, dan gempa-gempa susulannya dirasakan pula di Bogor dan Serang. Pada 20:00 terjadi fluktuasi air laut yang tidak seperti biasanya.
27 Agustus 1883
10:02, terjadi erupsi yang sangat dahsyat dari gunung api Krakatau, yang diikuti oleh gelombang tsunami. Ketinggian tsunami maksimum teramati di Selat Sunda hingga 30 meter di atas permukaan laut, 4 meter di pantai selatan Sumatera, 2-2,5 m di pantai utara dan selatan Jawa, 1,5-1 m di Samudera Pasifik hingga ke Amerika Selatan. Di Indonesia sebanyak 36.000 orang meninggal dunia.
10 Oktober 1883
Di Cikawung di pantai Teluk Selamat Datang, teramati gelombang laut yang membanjiri pantai sejauh 75 m.
Februari 1884
Lima bulan setelah kejadian erupsi Gunung api Krakatau, tsunami kecil teramati di sekitar Selat Sunda, diakibatkan oleh suatu erupsi gunung api.
Agustus 1889
Teramati kenaikan permukaan air laut yang tidak wajar di Anyer, Jawa Barat
26 Maret 1928
Kejadian erupsi gunung api Krakatau diiringi oleh kenaikan gelombang laut yang teramati di beberapa tempat di sekitar wilayah gunungapi.
22 April 1958
5:40, dirasakan gempa bumi di Bengkulu, Palembang, Teluk Banten dan Banten yang diiringi dengan kenaikan permukaan air laut yang meningkat secara berangsur.

0 komentar:

Posting Komentar

About me

Maaf Ya, Di Blog Ini Tidak Di Ijinkan Untuk Klik Kanan

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
 
Minima 4 coloum Blogger Template by Serdadu Banten.
Simplicity Edited by Serdadu Banten's Template