Banten
memang dikenal kaya potensi wisata spiritual. Kalau daerah Banten Lama
di Kabupaten Serang, misalnya, dikunjungi ribuan wisatawan setiap
liburan karena memiliki kawasan wisata peninggalan Sultan Banten – yang
antara lain berisi Benteng Surosowan, Mesjid Agung, Klenteng Kuno dan
sejumlah makam keluarga Sultan Hasanudin, maka Kabupaten Pandeglang, 20
km dari Kota Kabupaten Serang, juga dikenal karena memiliki kawasan
wisata Gunung Karang.
Dalam buku potensi usaha pariwisata Kabupaten Pandeglang yang
diterbitkan 7 tahun silam, disebutkan kawasan wisata Gunung Karang
memiliki 3 objek kunjungan.
Objek kunjungan pertama disebut Sumur Tujuh. Objek kunjungan kedua,
Kolam Renang Cikoromoi yang dilengkapi tempat penziarahan Cibulakan.
Objek penziarahan itu menjadi menarik diamati pengunjung, karena dikolam
pemandiannya terdapat Batu Qur’an, batu
berukuran besar terletak di dasar kolam dan bertuliskan huruf-huruf
arab. Diperkirakan batu bertuliskan huruf arab itu sudah berusia lebih 5
abad. Dan objek kunjungan yang ketiga disebut pemandian air panas
Cisolong.
Dibandingkan dengan objek kunjugan kolam renang Cikoromoi, atau
pemandian air panas Cisolong, objek kunjungan Batu Quran dan Sumur Tujuh
lebih sering dikunjungi umat Islam pada hari-hari besar Islam, seperti
Maulid Nabi Muhammad, 1 Muharam, menjelang Ramadhan, Idul Fitri atau
Idul Adha. Ribuan umat Islam selalu mengunjungi kedua objek wisata
spritual itu di setiap liburan, karena sejarah keberadaan objek wisata
Sumur Tujuh dan Batu Qur’an, konon kabarnya, erat kaitannya dengan
kegiatan keluarga Sultan Banten dalam penyebaran Islam di abad ke 15.
Karena itu, sejumlah perusahaan biro perjalanan wisata di Jawa,
khususnya lembaga pengajian atau majelis taklim di Jabotabek, Banten,
Bandung dan Cirebon sering menjadikan pemandangan alam di kaki Gunung
Karang sebagai tujuan wisata menarik. Soalnya di lokasi itu juga
terdapat obyek wisata Batu Qur’an dan Sumur Tujuh. Menariknya lagi, pada
saat-saat tertentu di musim durian, pedagang durian juga bermunculan di
sepanjang jalan menuju lokasi kaki gunung Karang mulai dari daerah
Ciasem, kota Pandeglang atau Cikoromoi.
Cerita panjang mengenai misteri Sumur Tujuh itu akan dikupas dalam
tulisan terpisah. Lalu, apa daya tarik objek wisata pemandian Batu
Qur’an? Untuk mengetahuinya, mungkin Anda bisa mempelajari pengakuan
Haji Wahab Gaffar (57) dari Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Haji Wahab Gaffar, pensiunan pegawai Pemda Tk I Nusa Tenggara Barat
itu mengaku sudah sejak kuliah di Universitas Gajah Mada tahun 1960
mendengar beragam daya tarik pemandian Cibulakan. Karena itu, kakek 6
cucu dari 4 anak ini bernazar begitu pensiun akan meluangkan waktu
melaksanakan wisata spiritual dengan mengunjungi makam Sunan Ampel di
Surabaya hingga menengok semua peninggalan zaman kejayaan Sultan Banten,
termasuk pemandian Batu Quran itu.
“Ketika melihat sendiri, saya baru percaya, batu qur’an itu ada.
Jadi,bukan dongeng yang dibuat-buat. Batu Quran itu merupakan salah satu
sisa peninggalan masa jaya Sultan Banten,” ujar Haji Wahab Gaffar.
“Sayangnya, Pemda terkesan membiarkan obyek wisata itu tumbuh tanpa
perawatan seperlunyam sehingga tidak terkesan obyek wisata itu sangat
berarti bagi umat Islam, khususnya bagi aset sejarah di Banten,”
tambahnya.
Lokasi pemandian Batu Quran terletak di kaki Gunung Karang, tepatnya
di Desa Kadubumbang Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Lokasi
pemandian memang sangat sederhana. Hanya ada sebuah kolam di situ.
Tetapi, jika liburan panjang tiba, antrian orang berdatangan ke
pemandian tersebut.
Pengunjung selalu dibuat takjub, karena menurut cerita kuncen,
petugas penjaga pemandian Cibulakan, air kolam pemandian – yang
tingginya hanya sekitar 1,5 meter dari dasar kolam – tak bisa kering
sekalipun musim kemarau berlangsung panjang. Prof Dr Muarif Ambari dari
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga pernah mempelajari bagaimana
mengeringkan kolam Cibulakan, kemudian Batu Quran yang ada diteliti asal
muasalnya. Ternyata sulit. Pasalnya, air Cibulakan tak mudah kering
kendati disedot pipa air bertekanan ratusan kubik perjam. Akibat itu
para ahli sejarah kepurbakalaan yakin bahwa batu bertulisan huruf-huruf
al-quran yang ada di batu-batu di dasar kolam Cibulakan, sengaja dibuat
oleh pengikut Sultan Banten dalam rangka syiar Islam. Batu-batu itu
telah dijadikan media pengikut Sultan untuk warga Banten tentantg
bagaimana menghormati air untuk diminum, bagaimana menghormatyi air
untuk dijadikan wudhu, dan bagaimana menjadikan air sebagai modal
kehidupan.
Batu-batu berhuruf arab itu, lebarnya hanya sekitar 2 meter. Di
pinggiran batu tersebut, terdapat sejumlah mata air yang deras dan
bening airnya. Di lokasi itulah pula, pengunjung sering berlama-lama
berendam.
“Ada yang sangat yakin, jika berendam di sekitar batu quran tersebut,
penyakit kulit yang ada ditubuh akan mudah disembuhkan. Ada juga yang
yakin, sering berendam di kolam Cibulakan kulit akan menjadi lebih
bersih karena air kolam Cibulakan mengandung unsur obat kimia yang bisa
menghaluskan kulit. Ada juga yang yakin, air kolam Cibulakan bisa
dijadikan media penyembuhan beragam bentuk penyakit dalam,” ujar Haji
Achmad dari Warung Gunung Kabupaten Lebak yang mengaku sering mengajak
santri-santri pesantrennya mengaji bersama di mushollah yang ada di
pinggiran kolam Cibulakan.
Haji Achmad menuturkan, sering mengajak santrinya mengaji bersama di
Mushollah Cibulakan, lebih karena ingin menjelaskan banyak hal bahwa
Batu Quran yang ada di kolam Cibulakan merupakan peninggalan Ki Mansyur,
seorang ulama terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15.
Ki Mansyur – yang juga disebut Maulana Mansyur oleh warga masyarakat
Banten – memang salah seorang ulama pemberani, cerdas, piawai dalam
memainkan alat-alat kesenian bernafaskan Islam. Di masa kejayaan Sultan
Hasanudin, Ki Mansyur yang juga cakap dalam ilmu pertanian serta
komunikasi diserahi tugas untuk menjaga kawasan Islam Banten Selatan dan
berdomisili di Cikaduen.
Selama masa penugasannya, Ki Mansyur mewariskan banyak ilmunya kepada
warga Banten Selatan. Salah satu ilmu kesenian bernafaskan Islam yang
ditinggalkannya dan hingga kini masih lestari adalah seni Rampak Bedug,
kesenian tradisional yang mulanya digunakan warga Pandeglang hanya di
bulan Ramadhan untuk membangunkan warga makan sahur. Kesenian itu juga
digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan massa menjelang Ki Mansyur
menyampaikan pesan-pesan atau tugas kepada warga. Ki Mansyur juga
mewariskan ilmu debus, kesenian yang inti sarinya bersumber dari
Al-quran, untuk penyebaran Islam.
Kini Ki Mansyur – bersama istrinya – bersemayan di Cikaduen. Setiap
libur, terutama sekali jika Maulid Nabi Muhammad tiba, puluhan bus
ukuran besar dari berbagai kota parkir di lokasi wisata penziarahan
makam Ki Mansyur di Cikaduen, Pandeglang.
Setelah mengunjungi makam Ki Mansyur, para wisatawan juga kerap
menyempatkan diri berendam di kolam Cibulakan. Ketika pulang, pengunjung
pun membawa oleh-oleh botol berisi air dari kolam Cibulakan. Dan
kegiatan itu sepertinya sudah mejadi tradisi yang berlangsung lama.
Hasilnya pun menakjubkan. Karena sangat yakin, air kolam pemandian batu
quran bisa dijadikan obat, banyak pengunjung yang semula menderita
penyakit kulit kini sembuh.
Itulah primadona wisata Di kabupaten Pandeglang, Banten.
Kamis, 12 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About me
Maaf Ya, Di Blog Ini Tidak Di Ijinkan Untuk Klik Kanan
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar