Minggu, 08 Juli 2012

Langit Makin Kelabu


Oleh : Pipiet Senja

Langit tampak kelabu pagi itu dan belum banyak yang datang, ketika Badi memasuki pekarangan kantor Pemda dengan motor bututnya. Seorang lelaki tua sedang sibuk membersihkan lantai. Ia tersenyum ramah dan segera menghampiri Badi begitu mengenalinya.
"Assalamualaikum, Mang Lili " sapa Badi sopan.
"Waalaikumussalam Kang Badi, rajin benar. Sudah janjian sama pak Maman, ya?" Orang yang dimaksud adalah kepala bagian Humas.
"Ya, begitulah, Mang. Belum datang ya?"
“Biasalah, Kang, pejabat mah doyan telat atuh " sahut lelaki tua itu sambil melanjutkan pekerjaannya, tanpa merasa terganggu.
"Kalau mau ngeteh mah ambil saja di belakang, ya Kang "
"Mangga, hatur nuhun, Mang"
Entah sudah berapa lama dia bekerja di sini, tanpa naik jabatannya. Hanya sebagai pegawai rendahan, honorer, gumam Badi. Untuk sesaat ia jadi melamunkan kehidupan getir yang harus dijalani lelaki tua itu tanpa sanak saudara. Tak lama, karena ia pun dibetot kembali pada persoalan dirinya. Kira-kira apa yang akan dikatakannya kepada Pak Maman, kaitannya dengan misinya kali ini? Apakah dia akan berani bilang; "Seperti yang sudah kita bicarakan via telepon itu, Pak "
"Ini berita yang akan kami muat di media Warta Tanah Air besok. Tapi kalau Anda tak setuju, kita deal saja "
Atau langsung sodok saja dengan, "Berapa Anda berani bayar untuk membatalkan berita ini, Pak Maman?"
"Begini, Pak Maman sebaiknya Anda borong seluruh koran kami yang bakal terbit besok!" ya, mestinya begitu saja!
Pak Maman tentu akan menawar, "Berapa tirasnya? Berapa yang harus kami bayar?"
"Yaah, nggak seberapa jika dibandingkan dengan jatuhnya nama baik Pak Bupati. Proyek fiktif yang kami temukan itu kan dalam bilangan triliun. Hmm, bisa dibayangkan! Bagaimana hebohnya masyarakat kita kalau tahu para pejabat yang selama ini dihormati dan dipercayai, eeh ujung-ujungnya megakoruptor?!"
Tentunya Pak Maman tanpa banyak bicara lagi, demi nama baik sang atasan, terpogoh-pogoh menghubungi bagian keuangan. Urusan dengan Pak Bupati belakangan. Yang penting, selamatkan dulu beliau!
Beberapa bulan terakhir ini dirinya bekerja di koran ecek-ecek. Mulai dari modal, kualitas pengelolanya, wartawan, redaksi yang tugasnya dicampur aduk, sampai soal peras memeras!
Setiap kali rapat wartawan diadakan, Badi akan menerima pembekalan-pembekalan itu. Intinya bagaimana cara mendapatkan aib para pejabat, memeras dan memanfaatkan kelemahannya. Demi meraup keuntungan bersama, begitulah istilah Bang Harap, pemrednya.
"Sudah tahu, Bung, kalau Wakapolsek itu bininya ada dua ?"
"Tahu kan Kang, tambak udang hasil rampasan anggota dewan di desa Burujul itu "
"Ternyata sudah sepuluh tahun Pak Dandim kerja bareng Pak Hakim kelola klub malam "
"Klub malam yang mana?"
"Evergreen, tempat judi dan transaksi narkoba terbesar di kota kita!"
"Waah, enak tuuuh, tinggal teror dan peras saja!"
"Bagaimana, Bung Badi, apa sudah dapat banyak objekan?"
Kemarin Bang Harap melakukan pendekatan pribadi dengannya. Tentu ia ingin tahu, sejauh mana kreativitas dan loyalitasnya pada terhadap koran mereka.
"Belum, Bang " sahut alumni Institut Keagamaan yang nyasar ke dunia persuratkabaran itu.
"Sudah hampir tiga bulan kan kerja bareng kami di sini?"
"Eeh, iya, Bang " Badi mulai gugup dan berkeringat.
"Bung ini kurang berani sih!" untuk beberapa menit lelaki yang mengaku lulusan PTN terkenal di medan itu memberikan pembekalan khusus; kiat dan triknya yang aneh dan nyeleneh. Badi hanya manggut-manggut.
Dalam hatinya, terjadi perang sabil yang luar biasa. Betapa ingin Badi menyatakan ketaksetujuannya dengan politik bisnis yang dijalankan lelaki itu. Namun, betapa kerdil dirinya, karena naluri mulai dikalahkan oleh tuntutan kehidupannya. Ibu yang tua dan sakit-sakitan, lima adik yang harus dibiayainya.
"Seharusnya ini tanggung jawabmu, Bapak! Tetapi, entah ke mana lelaki yang tak bermoral itu!"
Lalu, harus dikemanakan nurani yang halus, sarat moral dan nuansa keagamaan itu? Adakah nurani hanya akan mengapung ke awan, mewarnai langit dengan rona kelabunya?
"Bagaimana, Bung, mengerti apa yang sudah saya katakan?"
"Eng, ya ?" gamang hatinya.
"Giatkan lagi cari berita aktual!" tekannya bernada mengancam.
Kelihatannya Bang Harap kehabisan toleransinya memiliki anak buah tak bernyali. Tak pernah berhasil memberikan kontribusi besar pada korannya. Kalau tak ingat akan jasa Badi menyelamatkan nyawanya pada suatu insiden, di mana dirinya dikeroyok abang-abang becak Bah!
Cari berita aktual, apa bongkar aib seseorang? Di lapangan terbukti, tidak ada kasus apapun kok dicari-cari, diada-adakan, kalau perlu dibikin, diwujudkan menjadi nyata. Badi sering melihat rekan-rekannya tanpa rasa malu lagi mendatangi para pejabat bermasalah. Mulai dari meneleponnya secara pribadi, kalau belum mempan langsung disambangi ke kantor. Atau disusul ke rumah peristirahatannya. Dikomfirmasikan kepada istri, anak, keluarga bahkan para pembantu dekatnya. Pada akhirnya, mereka yang mengaku wartawan itu hampir tak pernah menulis berita. Karena tulisan mereka segera dibeli oleh para pejabat bermasalah. Disimpan di kantong celana dan raib begitu saja.
Persetan dengan kode etik, idealisme, dan tetek bengeknya itu!
"Inilah kerajaan kita, Bung!"
"Hahaha dan betapa nikmatnya zaman reformasi!"
"Iya, sekarang segalanya bisa ditransparankan, ditelanjangi!"
"Bukan pihak kita lagi yang diintimidasi, ditekan habis, tapi sebaliknya!"
"Betul itu! Kitalah yang berperan sekarang!"
"Inilah nikmatnya punya sarana media cetak. Bisa dipakai menarik gaji dari para pejabat bermasalah "
"Bahkan tunjangan pensiunan, huahaha " suara bahak kesenangan rekan-rekannya menyayat telak nurani Badi
"Kang Badi, sekarang beliau sudah datang. Ditunggu di ruangannya".
"Ooh, begitu Terima kasih, Mang Lili!"Badi bangkit dari bangku yang telah memakunya dengan tingkah polah rekan-rekan, termasuk dirinya belakangan ini.
"Kok belum diminum tehnya, Kang?"
"Eeh, hatur nuhun Mang, nanti sajalah "
Sekejap mata Badi bersirobok dengan sepasang mata di depannya. Bening, polos, dan lugu. Mata tua yang mengingatkannya pada mata mendiang kakeknya, seorang pejuang '45. Kakek yang suka menuturkan kisah-kisah kepahlawanan di masa kecilnya dulu.
"Tak pernah terbesit sedikit pun untuk memperoleh keuntungan dari perjuangan kami. Semuanya rela kami korbankan demi kemerdekaan Tanah Air, kehormatan bangsa dan kemualiaan agama " Terngiang lagi ucapan kakek. Dan sekarang setelah Tanah Air merdeka, berkali-kali diguncang, hingga kini semakin carut-marut ?"
"Nah, jadi begitulah duduk persoalannya. Bagaimana? Bung Badi, apa Saudara sudah mengerti penjelasan saya?" Suara berat Pak Maman membuat keberadaanya kembali di sebuah ruangan AC dan sederhana sekali. Ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk, tergagap menyahut."Ya, ya, saya mengerti, Pak " Ha, apa yang telah dipahaminya dari uraian lelaki itu mengenai kejujuran sang atasan? Bahwa Pak Bupati hanya menjalankan perintah dari seorang mantan pejabat tinggi di pusat, itukah yang dipahaminya? Bagaimana dengan tekanan pemrednya, agar mengorek tuntas kasus proyek fiktif itu?
"Ini alamat rumah beliau di Bandung "
"Beliau siapa?" cetusnya rikuh, gamang.
Pak Maman mengerutkan alisnya, tapi kemudian ia tersenyum maklum.
"Investor proyek fiktif itu, tentu saja. Bung akan mengkonfirmasikannya kesana, bukan?"
"Oh, ya, tentu saja Baiklah, Pak, kalau begitu saya pamit!" gegas ia menyambar secarik kertas di hadapannya.
Pak Maman tergopoh-gopoh mengejarnya. "Ini, jangan ditinggalkan lho Kang uang perasaan," bisiknya sambil menyelipkan amplop ke telapak tangannya. Ada yang membakar ubun-ubunnya seketika, hingga hawa panasnya merambah ke wajah, dada, ke mana-mana. Ia tergesa-gesa meninggalkan ruangan yang terasa mendadak gerah.
"Sudah beres, Kang?" Mang Lilih menyapa di tempat parkir.
"Eeh, ya, ya "Aduh, kenapa dirinya mendadak merasa seperti maling yang kepergo?
"Ada yang ketinggalan, Kang?"
"Tidak ini buatmu, Mang!" diselipkannya selembar puluhan ribu ke tangan lelaki tua itu.
"Apa ini?"
"Lumayanlah Mang, buat rokok "
"Oh jangan Kang, jangan beri apa-apa!"
Mang Lili begitu cepat mengembalikannya ke saku kemeja pemuda itu. Lantas begitu cepat pula ia berlalu, meninggalkannya dalam perasaan gamang yang menyiksa. Sadarlah Badi, sejak saat ini nuraninya telah terpasung. Dan langit di atasnya tampak semakin merona kelabu.

0 komentar:

Posting Komentar

About me

Maaf Ya, Di Blog Ini Tidak Di Ijinkan Untuk Klik Kanan

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
 
Minima 4 coloum Blogger Template by Serdadu Banten.
Simplicity Edited by Serdadu Banten's Template