Tsunamigenik di Selat Sunda:
Kajian terhadap katalog Tsunami Soloviev
Yudhicara1 dan K. Budiono2
1Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung
2Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
Jl. Dr. Junjunan No. 236 Bandung
Sari
Tsunamigenik
adalah suatu kejadian di alam yang berpotensi menimbulkan tsunami.
Kejadian tersebut berupa terganggunya air laut oleh kegiatan-kegiatan
gunung api, gempa bumi, longsoran pantai dan bawah laut, dan sebab-sebab
lainnya.
Berdasarkan
sejarah, di Selat Sunda telah berkali-kali terjadi bencana tsunami yang
tercatat dalam katalog tsunami. Tsunami yang terjadi ini disebabkan
oleh beberapa fenomena geologi, di antaranya erupsi gunung api bawah
laut Krakatau yang terjadi tahun 416, 1883, dan 1928; gempa bumi pada
tahun 1722, 1852, dan 1958; dan penyebab lainnya yang diduga kegagalan
lahan berupa longsoran baik di kawasan pantai maupun di dasar laut pada
tahun 1851, 1883, dan 1889.
Kondisi
tektonik Selat Sunda sangat rumit, karena berada pada wilayah batas
Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia, tempat terbentuknya sistem
busur kepulauan yang unik dengan asosiasi palung samudera, zona akresi,
busur gunung api dan cekungan busur belakang. Palung Sunda yang menjadi
batas pertemuan lempeng merupakan wilayah yang paling berpeluang
menghasilkan gempa-gempa besar. Adanya kesenjangan kegiatan gempa besar
di sekitar Selat Sunda dapat menyebabkan terakumulasinya tegasan yang
menyimpan energi, dan kemudian dilepaskan setiap saat berupa gempa besar
yang dapat menimbulkan tsunami.
Sepanjang
sejarah letusan, busur gunung api bawah laut Krakatau telah mengalami
empat tahap pembangunan dan tiga tahap penghancuran. Setiap tahap
penghancuran mengakibatkan terjadinya tsunami dengan kemungkinan potensi
peristiwa serupa akan terjadi antara tahun 2500 hingga 2700.
Kondisi
geologi dasar laut Selat Sunda yang labil, terutama disebabkan oleh
perkembangan struktur geologi aktif yang membentuk terban, juga
berpotensi menimbulkan bencana longsor apabila dipicu oleh gempa bumi.
Sementara kondisi topografi pantai yang relatif terjal dengan tingkat
pelapukan yang tinggi di sekitar Teluk Semangko dan Teluk Lampung,
merupakan faktor lain yang dapat menimbulkan bencana longsor terutama
apabila dipicu oleh curah hujan yang tinggi antara bulan Desember hingga
Februari. Lebih jauh lagi, bahwa apabila material longsoran jatuh ke
laut, meskipun sangat kecil dan bersifat lokal dapat juga berpotensi
mengakibatkan tsunami.
Kata Kunci: tsunamigenik, gempa bumi, gunung api bawah laut, longsoran, tsunami
Abstract
Tsunamigenic
is a natural phenomena which is potential to generate a tsunami, such
as water disturbance due to the presence of activities of volcanism,
earthquakes, coastal and sub marine landslidse, or other causal factors .
Historically,
the Sunda Strait has experienced several tsunami events recorded in the
tsunami catalog. Those tsunamies were caused by some geological
phenomena such as eruptions of Krakatau submarine volcano in 416, 1883,
and 1928; earthquakes in 1722, 1852, and 1958; and other causes which
were suggested as a mass failure of coastal and submarine landslide in
1851, 1883, and 1889.
Tectonic
condition of the Sunda Strait is very complicated, because this region
is located at the boundary of Indian-Australian and Eurasian Plates,
where a unique island arc system occurs with its association such as
trench, accretionary zone, volcanic arc and back-arc basin. Sunda trench
as a plate boundary is the most potential region to produce big
earthquakes. Existence of a seismic gap in the region
241
242
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 4 Desember 2008: 241-251
can cause a stress accumulation and store energy, then it will be released any time as a big earthquake to generate a tsunami.
Along
eruption history, Krakatau volcanic arc has four stages of
reconstruction and three stages of destruction, and every destruction
stage produces tsunami which is suggested to be potentially repeated in
the future in a period between 2500 to 2700.
Seafloor
of the Sunda Strait has an unstable geological condition due to
geological structure development, which creates grabens and also enable
to produce submarine landslides triggered by earthquake. Coastal
condition around the Semangko and Lampung Bays consisting of steep
topography with high intensity of weathering, is another factor to
contribute landslide, particularly in the case of triggering be heavy
rainfall between December to Februari. Furthermore, if landslide
materials tumble into the water, even very small and locally, could
create a potency of tsunami.
Keywords: tsunamigenic, earthquake, submarine volcano, landslide, tsunami
Pendahuluan
Tsunami
bisa disebabkan oleh berbagai hal di antaranya gempa bumi dan erupsi
gunung api di bawah laut, atau oleh sebab-sebab lain berupa longsoran di
dasar laut dan atau di pantai.
Pada
tahun 1883, di Kawasan Selat Sunda terjadi letusan Gunung Api Krakatau.
Peristiwa bersejarah ini telah menarik seluruh perhatian dunia, karena
material yang dimuntahkannya telah memicu terjadinya tsunami yang
melanda sebagian Sumatera bagian selatan dan Jawa Barat bagian barat,
sehingga menewaskan lebih kurang 36.000 jiwa manusia.
Berdasarkan
katalog tsunami yang ditulis oleh Soloviev dan Go (1974), telah
tercatat adanya beberapa kali peristiwa bencana tsunami di Selat Sunda
(Tabel 1). Di dalam katalog dijelaskan bahwa tsunami tersebut dipicu
salah satunya oleh erupsi gunung api yang pernah terjadi pada tahun 416
[terekam dalam sebuah kitab Jawa yang berjudul Pustaka Raja (“Book of Kings”)],
yang diduga sebagai gunung api Krakatau kuno. Setelah peristiwa erupsi
gunung api bawah laut Krakatau di tahun 1883, erupsi-erupsi kecil
berlangsung pada tahun 1884, menghasilkan tsunami kecil yang teramati di
sekitar Selat Sunda. Peristiwa yang sama kembali terjadi pada tahun
1928, dan tsunami kecil teramati sekitar Gunung Api Anak Krakatau.
Dalam
katalog tersebut juga dijelaskan bahwa tsunami pernah teramati setelah
adanya peristiwa gempa bumi yang berpusat di dasar laut, di antaranya
pada tahun 1722, 1757, 1852, dan 1958. Katalog tersebut juga merekam
adanya kenaikan muka air laut yang diduga sebagai tsunami kecil bersifat
lokal, teramati di beberapa kawasan pantai dengan penyebab yang belum
diketahui, yaitu pada tahun 1851, 1883 (dua bulan setelah peristiwa
erupsi Gunung Api Krakatau) dan 1889. Diduga bahwa peristiwa geologi
lainnya yang menjadi penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda, selain
erupsi gunung api dan gempa bumi bawah laut, adalah pe-ristiwa longsoran
di kawasan pantai dan di dasar laut. Untuk membuktikan hal tersebut,
telah dilakukan penelitian geologi dan geofisika kelautan di Selat
Sunda, termasuk pemetaan longsoran di kawasan Teluk Betung dan
sekitarnya maupun studi yang dilakukan mengenai Gunung Api Krakatau,
untuk dijadikan bahan kajian tsunamigenik di Selat Sunda dengan mengacu
pada sejarah tsunami yang tertulis dalam katalog tsunami (Soloviev dan
Go, 1974). Dalam tulisan ini dikaji kondisi geologi dan tektonik kawasan
Selat Sunda dan faktor pendukung lainnya yang dapat memberikan
kontribusi kejadian tsunami dan potensinya. Hasil kajian diharapkan
dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut mengenai tsunami yang
mungkin dapat terjadi di wilayah Selat Sunda, sehingga dapat diupayakan
langkah mitigasinya sedini mungkin.
Geologi dan Tektonik Regional
Indonesia
bagian barat berada pada pertemuan dua lempeng utama dunia yang aktif,
yaitu Lempeng Samudera Hindia-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng
Benua Eurasia. Konsekuensi pertemuan kedua jenis lempeng yang berbeda
ini menyebabkan terbentuknya suatu busur kepulauan yang memiliki
karakteristik adanya palung samu-dera, busur non gunung api yang
tersusun oleh
Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap katalog Tsunami Soloviev (Yudhicara dan K. Budiono)
243
prisma
akresi, busur gunung api, dan cekungan busur belakang (Hamilton, 1979).
Beberapa pu-blikasi menyebutkan bahwa Selat Sunda berada pada kombinasi
kondisi tektonik tersebut, dengan zona penunjaman yang memanjang dari
ujung utara Pulau Sumatera membelok di Selat Sunda, memisahkan antara
dua sistem penunjaman yang berbeda, yaitu sistem penunjaman miring (oblique) di perairan barat Sumatera dengan sistem penunjaman tegak (frontal)
di perairan selatan Jawa (Harjono drr., 1991). Di antara palung dengan
busur gunung api terdapat prisma akresi, dan gunung api bawah laut
(Krakatau) berada pada jalur busur gunung api di daerah ini. Secara
tektonik daerah ini selain dipengaruhi oleh sistem zona penunjaman di
barat daya Selat Sunda, juga berkembang Sesar mendatar Semangko dan
Sesar mendatar Mentawai dengan arah pergerakan menganan (dextral)
yang menerus hingga ke per-airan Selat Sunda (Gambar 1). Masing-masing
elemen tektonik tersebut memberikan kontribusi pada deformasi di daerah
Selat Sunda dan membentuk topografi darat dan dasar laut yang
bergelombang hingga curam di daerah ini. Kondisi tektonik de
Tabel 1. Data Kejadian Tsunami berdasarkan Katalog Soloviev dan Go, 1974
Tahun
|
Uraian Kejadian Tsunami
|
416
|
Kitab
Jawa yang berjudul “Book of Kings” (Pustaka Radja), mencatat adanya
beberapa kali erupsi dari Gunung Kapi*, yang menyebabkan naiknya gelombang laut dan
menggenangi daratan, dan memisahkan P. Sumatera dengan P. Jawa. *)
Gunung Kapi ini diyakini sebagai Gunung api Krakatau saat ini).
|
Oktober 1722
|
8:00 terjadi gempa bumi kuat di laut, yang dirasakan di Jakarta dan menyebabkan air laut naik seperti air mendidih.
|
24 Agustus 1757
|
2:00,
Gempa bumi yang kuat dirasakan di Jakarta kurang lebih selama 5
menit. Pada 2:05, selama goncangan yang terkuat, angin dirasakan
berasal dari timur laut. Air sungai Ciliwung meluap naik hingga 0,5 meter dan membanjiri Kota Jakarta.
|
4 Mei 1851
|
Di Teluk Betung, di dalam Teluk Lampung di pantai selatan pulau Sumatera, teramati gelombang pasang naik 1,5 m di atas air pasang biasanya.
|
9 Januari 1852
|
Segera
setelah 18:00, dirasakan gempabumi yang menyebar dari bagian barat
Jawa hingga bagian selatan Sumatera, dirasakan juga di Jakarta, dan
gempa-gempa susulannya dirasakan pula di Bogor dan Serang. Pada 20:00
terjadi fluktuasi air laut yang tidak seperti biasanya.
|
27 Agustus 1883
|
10:02, terjadi erupsi yang sangat dahsyat dari gunung api Krakatau, yang diikuti oleh gelombang tsunami.
Ketinggian tsunami maksimum teramati di Selat Sunda hingga 30 meter
di atas permukaan laut, 4 meter di pantai selatan Sumatera, 2-2,5 m di
pantai utara dan selatan Jawa, 1,5-1 m di Samudera Pasifik hingga ke
Amerika Selatan. Di Indonesia sebanyak 36.000 orang meninggal dunia.
|
10 Oktober 1883
|
Di Cikawung di pantai Teluk Selamat Datang, teramati gelombang laut yang membanjiri pantai sejauh 75 m.
|
Februari 1884
|
Lima bulan setelah kejadian erupsi Gunung api Krakatau, tsunami kecil teramati di sekitar Selat Sunda, diakibatkan oleh suatu erupsi gunung api.
|
Agustus 1889
|
Teramati kenaikan permukaan air laut yang tidak wajar di Anyer, Jawa Barat
|
26 Maret 1928
|
Kejadian erupsi gunung api Krakatau diiringi oleh kenaikan gelombang laut yang teramati di beberapa tempat di sekitar wilayah gunungapi.
|
22 April 1958
|
5:40, dirasakan gempa bumi di Bengkulu, Palembang, Teluk Banten dan Banten yang diiringi dengan kenaikan permukaan air laut yang meningkat secara berangsur.
|
0 komentar:
Posting Komentar